Kenangan Dalam Lembaran Kertas


Sore itu Bang Mada dan Bang Midun berkunjung ke rumah Haji Mudir untuk pertama kalinya. Maklum, ia adalah penghuni baru di wilayah itu yang pindah karena terkena gusuran.

Pandangan Bang Mada terpaku pada sebuah kertas yang dibingkai dengan cantik dan tergantung di dinding, bersama dengan foto-foto keluarga. Kertas itu bergambar sepasang orang tua, dengan anak kecil di tengah mereka berdua. 

Gambarnya pun tidak bagus, seperti karya anak TK yang dibuat dengan krayon. Setiap tokoh dalam gambar tersebut diberi nama di bagian atas kepalanya; Ayah, Bunda, Dede. 

Tulisannya pun tampak benar seperti ditulis oleh anak-anak yang baru belajar menulis. Pasti anak yang ada dalam gambar itu tengah menggambarkan dirinya sendiri. Begitulah menurut Bang Mada. 

"Itu gambar hasil karya anak saya Bang, kenang-kenangan waktu ia di rumah sakit!" Haji Mudir membuka pembicaraan lebih dulu ketika melihat tamunya itu tersedot perhatiannya dengan gambar tersebut. 

"Kenang-kenangan? Maksud Pak Haji?"

"Iya, anak saya sudah pergi setahun lalu karena sakit. Hari-hari terakhirnya di rumah sakit, ia habiskan untuk menggambar biar gak bosan. Itu salah satu gambar buatannya."

"Oh, maaf Pak Haji. Saya jadi bikin Bapak sedih nih jadinya."

"Gak apa-apa Bang, kami udah bisa menerima kok. Gambar itu penuh dengan kenangan bagi kami, nilainya lebih mahal dari apapun. Makanya kami bingkai yang bagus, dan dipajang di sana agar bisa dilihat setiap hari."

Tak lama kemudian mereka bertiga beralih pembicaraan tentang suasana setempat, hingga terdengar adzan Maghrib keduanya pamit pulang. Sebagai pemuda Betawi asli, sudah pasti mereka berdua langsung menuju mushalla saat Maghrib. 

Lepas shalat berjamaah, Bang Mada terlihat banyak melamun. Pasti ada sesuatu yang masih kepikiran di kepalanya dari rumah Haji Mudir tadi. Sahabatnya lalu mendekat, 

"Ente lagi mikirin apaan sih? Abis dari rumah Pak Haji tetangga baru kite, kayanya ente bengong terus?" 

"Ane masih kebayang-bayang kertas yang dipajang di ruang tamu itu."

"Maksudnya gambar yang dibuat anaknya semasa hidupnya itu?" 

"Kalau menurut kita, kertas itu emang kertas biasa. Paling dirobek dari buku gambar anak-anak. Ane juga punya buku gambar kaya gitu di rumah. Gak ada harganya cuma kertas begitu doang," Bang Mada tampak serius,

"Tapi begitu kertas itu punya ikatan emosional dengan pemiliknya, harganya menjadi selangit! Tadi kan Pak Haji bilang nilainya bagi dia lebih mahal dari apapun! Sampai rela dibingkai segitu bagusnya, dan dilihat setiap hari!" 

"Terus?" Bang Midun masih menyimak. 

"Ane kepikiran, mungkin begini kali perlakuan kita sama Al-Quran nih Bang! Kita cuma anggap Al-Quran hanya kertas-kertas biasa yang dicetak huruf Arab, terus kita beli dari toko buku. Penghargaan kita pada Al-Quran ya cuma seharga rupiahnya doang kalau gini!" 

Bang Mada mendekatkan wajahnya pada wajah sahabatnya yang sedang mendengarkan dengan seksama. 

"Sedangkan orang-orang saleh, mereka punya ikatan emosional dengan Al-Quran. Bukan sekedar kertas! Ada kenangan yang nilainya lebih mahal dari apapun di sana. Makanya mereka perlakukan Al-Quran dengan sebaik-baiknya dan dilihat, dibaca terus tiap hari!"

Bang Midun tersentak. Memang benar apa kata sahabatnya. Al-Quran menyimpan banyak memori tentang suka duka Rasulullah semasa hidupnya.

Belum lagi kenangan dari sejarah para Nabi dan Rasul terdahulu, mereka semua adalah pejuang sejati yang pernah ada di muka bumi. Apalagi Al-Quran kelak yang berperan menyelamatkan pembacanya, bukankah sudah seharusnya kita memiliki ikatan emosional dengan Al-Quran? 

Rasanya Bang Mada dan Bang Midun ingin buru-buru pulang ke rumah, meraih mushaf yang sudah lama gak mereka perhatikan itu, memeluknya dengan erat, dan membacanya dengan syahdu. Mulai hari ini mereka akan mengubah cara pandang yang keliru selama ini yang menganggap mushaf mereka hanya lembaran-lembaran kertas biasa.

Salam Hijrah.
⏰ Waktunya bangun dan berubah dari tidur panjang kita!

Sumber  : @arafat_channel

Komentar

  1. Masya Allah.. Mantep mba.. Singkat padat... Tp ngena bgt..

    BalasHapus
  2. Aku ikut "deg" pas bacanya nya. terimakasih sudah berbagi mbaak

    BalasHapus
  3. MasyaaAllah..jazakillah khairan tulisannya mba...semoga....kita bisa istiqomah membaca, menghafal dan mengamalkan al quran. Aamiin

    BalasHapus
  4. njleb.. kadang masih berpikir belum ada waktu luang untuk baca Al Quran, padahal seharusnya meluangkan waktu. Semoga diri ini selalu memperbaiki diri dan tidak hanya disibukkan oleh urusan dunia

    BalasHapus
  5. Wow keren mbaa... mak jleb langsung deh..

    BalasHapus
  6. MasyaAllah mba,, harus cpt bangun dr tdr panjang, ngena bgt mb :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak. Terkadang udah tidur panjang, eeee bangun2 mager gabut de el el

      Hapus
  7. Keterikatan itu memang penting ya mba, jazakillah remindernya.

    BalasHapus
  8. Wow kisahnya bagus dan rapi sekali. *applause*

    BalasHapus
  9. Masya Allah mba, ceritanya ngena banget

    BalasHapus
  10. Maasyaa Allah..smoga kita terus istiqomah mmbaca Al Qur'an, menghafalkan n mengamalkannya..

    BalasHapus
  11. MasyaAllah... makjleb mba,, nice reminder 😍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Tertinggal Bukan Pemenang

Penghambat Kebahagiaan