Dzaatun Nithaqaini


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh sahabat Fillah komunitas blogger Bengkel Diri yang di Rahmati Allah. Apa kabar semuanya? Semoga Allah senantiasa menatap kita dengan tatapan penuh cinta, berada dalam naungan kasih sayang-Nya. Aamiin Ya Rabb... 
Baiklah sahabat, karena pekan ini tema nulis bareng kita disini adalah tentang Siroh Sahabiyah. Maka saya mencoba ikutan berpartisipasi untuk ikutan bareng kalian semua para Ukhti-ukhti dan Umma-Umma sholehah dan tentunya Ustadzah tercinta yang melalui perantaranya lah keinginan utuk terus menulis akan diasah (Jazakillah Khairan Katsiran Ustadzah, semoga Allah selalu melindungi Ustadzah dan keluarga) doa yang sama untuk sahabat Fillah para blogger komunitas Bengkel Diri. Tanpa memperpanjang muqadimah, kita mulai yaaa

Rasulullah memberinya gelar Dzaatun Nitaqaini, ia adalah Asma’ binti Abu Bakar adalah putri Abu Bakar dari istrinya Quthailah binti Abdul Uzza Al Amiriyyah yang telah diceraikannya semasa jahiliyah karena tidak mau mengikuti keyakinan suaminya. Asma’ lebih tua 10 tahun dari adiknya ‘Aisyah ra (salah satu dari Ummahatul Mukminin).
Asma’ adalah seorang muslimah yang sangat pemberani. Keberaniannya tampak jelas ketika Abu Bakar dan Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, mereka berdua bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Kaum Quraisy yang kehilangan jejak mereka berdua mendatangi rumah Abu Bakar. Begitu pintu dibuka oleh Asma’ binti Abu Bakar, maka Abu Jahal bertanya “Dimana Muhammad dan ayahmu?” 
Dengan keberaniannya Asma’ binti Abu Bakar menjawab “Mengapa kau bertanya kepadaku? Sejak kapan seorang laki-laki Arab memberitahu kepada anaknya kemana mereka pergi. Bukankah Abu Bakar biasa berdagang ke banyak tempat tanpa memberi tahuku?” Mendengar itu Abu Jahal marah dan naik pitam. Sekali lagi ia bertanya kepada Asma’ binti Abu Bakar, “Dimana Muhammad dan Ayahmu sekarang?” Asma’ kembali menjawab “Bukankah sudah ku jawab bahwa Abu Bakar bisa pergi kemana saja. Apalagi Muhammad yang bukan ayahku” hal ini membuat Abu Jahal semakin marah hingga ia memukul kepala Asma’ binti Abu Bakar dengan keras hingga anting-anting yang dikenakannya terlepas dan darah mengalir dari kepalanya. Asma’ mengaduh kesakitan entah bagaimana rasanya seorang wanita hamil diperlakukan seperti itu. Itulah pengorbanan. Ia berhasil menjaga sebuah rahasia besar, menjaga keselamatan Rasulullah saat berdakwah. Abu Jahal meninggalkan rumah itu dengan marah, tersebab itulah sejarah mencatatnya sebagai orang yang hina, sebab sebengis-bengisnya orang arab, belum pernah ada yang memukul kepala seorang wanita yang merdeka. Namun saat itu Abu Jahal telah menghinakan dirinya sendiri.

Setelah kepergian Abu Jahal, datanglah kakeknya Abu Ghufarah -Ayahnya Abu Bakar- yang buta, begitu mendengar Abu Bakar meninggalkan kota Makkah ia khawatir akan keadaan cucunya yang akan terlantar sepeninggal ayahnya. Ia menanyakan kepada Asma’ tentang harta yang ditinggalkan untuk kehidupan mereka. Asma’ paham kekhawatiran kakeknya sebab pada saat hijrah dikabarkan bahwa Abu Bakar telah membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000 sampai 6.000 dinar. Maka dengan kemuliaan akhlak dan kecerdasnya, untuk hati sang kakek agar merasa tenang, Asma’ mengambil batu-batu dan meletakkannya dilubang angin, tempat Ayahnya pernah meletakkan uang sebelumnya. Kemudian dia menutupinya dengan selembar baju dan meletakkan tangan kakeknya pada batu-batu tersebut dan kakeknya menyangka itu adalah uang yang ditinggalkan oleh anaknya untuk cucunya. Sang kakek pun merasa lega, padahal sebenarnya Abu Bakar tidak meninggalkan sekeping dinarpun bagi keluarganya. Namun, Asma’ mengikhlaskannya, ia tidak menuntut harta dari sang Ayah.

Kemuliaan akhlaknya juga terlihat saat Zubair bin Awwam meminangnya, ia tidak menuntut apa-apa dan menerima Zubair yang tidak memiliki apapun kecuali seekor kuda. Ia ikhlas memberi makan kudanya dengan menumbuk biji kurma, memberinya minum, mencukupi kebutuhannya serta membuat adonan roti. 

Asma’ binti Abu Bakar juga seorang muslimah yang sangat dermawan. Abdullah bin Zubair berkata “tidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma’.” Bila Aisyah suka mengumpulkan sesuatu, setelah banyak kemudian dibagikannya, maka Asma’ tidak menyimpan apapun untuk besoknya, karena dermawannya saat ia jatuh sakit, ia langsung membebaskan semua hamba sahaya yang dimilikinya.

Asma’ binti Abu Bakar juga muslimah yang sangat berani, pengabdian dan pengorbanan Asma’ dalam membela agama Allah begitu besar, hal ini terlihat pada saat Abu Bakar bersembunyi di Gua Tsur, setelah tiga hari berada disana, Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar memutuskan untuk berangkat ke Madinah. Asma’ mempersiapkan perbekalan, makanan dan minuman untuk beliau dan ayahnya. Ia membawanya ke Gua Tsur yang jaraknya sangat jauh dari kota Makkah, dengan jalan yang gelap dan naik turun, padahal saat itu kondisinya sedang hamil tua dan suaminya Zubair bin Awwam telah hijrah terlebih dahulu ke Madinah bersama kaum muslimin lainnya sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah. Saat itu ia lupa tidak membawa tali untuk mengikat perbekalan ke tunggangan, karena itu ia membelah ikat pinggangnya menjadi dua bagian, satunya ia gunakan sebagai ikat tunggangan sedangkan bagian lainnya ia gunakan sebagai ikat pinggang. Melihat apa yang dilakukannya inilah Nabi Muhammad SAW menggelarinya dengan “Dzaatun Nithaqin” (yang memiliki dua ikat pinggang).

Beberapa hari kemudian, setelah suasana kota Makkah menjadi tenang karena hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar maka Asma’ dan saudara-saudaranya beserta beberapa orang muslim yang tertinggal menyusul hijrah ke Madinah dengan kondisi yang masih hamil tua, beberapa hari setelah tinggal di Madinah ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah.

Kaum Muslimin, baik dari kalangan Anshar ataupun Muhajirin menyambut gembira kelahiran Abdullah bin Zubair, bayi pertama yang terlahir di kota Madinah setelah Hijrah. Mereka membawanya berkeliling kota Madinah, melewati kampung-kampung orang Yahudi.

Pada saat perang Yamuk, Asma’ kembali menunjukkan keberaniannya. Ia bersama suaminya Zubair bin Awwam ikut serta dalam berperang sehingga Umar bin Khatab yang sat itu menjabat sebagai Khalifah begitu menghormatinya dan memberikan tunjangan sebesar 1.000 dirham.

Asma’ binti Abu Bakar juga seorang muslimah yang berpendirian teguh dan berpegang kuat pada akidah. Hal ini terlihat saat ibu kandungnya Qutailah binti Abdul Uzza -yang diceraikan Abu Bakar karena tidak mau masuk islam- datang berkunjung membawa hadiah-hadiah berupa kismis, samin dan anting-anting dengan harapan Asma’ bisa kembali kepadanya. Namun Asma’ menolak hadiah tersebut dan tidak menginginkannya masuk rumah kecuali setelah menanyakan kebolehan itu kepada Rasulullah SAW.

Asma’ binti Abu Bakar adalah muslimah yang aktif dalam belajar agama, buktinya ia meriwayatkan lebih dari 50 hadist Nabi. Meski telah berumur 100 tahun dan tidak bisa lagi melihat ia tetap mempunyai logika dan tetap melakukan syiar islam. Masya Allah.

Suatu hari, putranya Abdullah datang menemuinya dan berkata “Wahai Ibu, bagaimana pendapatmu mengenai orang yang telah meninggalkan aku, begitu juga keluargaku?” Asma’ berkata “Jangan biarkan anak-anak kecil bani Umayyah mempermainkanmu. Hiduplah secara mulia dan matilah secara mulia. Demi Allah, sungguh aku berharap kamu mengakhiri kehidupan ini dengan baik.” kemudian Abdullah berkata “Wahai Ibu, aku takut jika pasukan Syam membunuhku, mereka akan memotong-motong dan menyalibku”. Asma’ menjawab dengan perkataan yang kukuh seperti gunung, kuat seperti jiwanya, besar seperti imannya dan perkataan itulah yang menentukan akhir perjuangan anaknya “Hai anakku, sesungguhnya kambing yang sudah disembelih tidaklah merasa sakit bila ia dikuliti”. Mendengar itu, putranya pun keluar dan bertempur hingga ia terbunuh. Datanglah berita kematian kepada Ibunya, maka ia pun mengeluarkan air matanya yang tertahan. Abdullah gugur sebagai syahid dengan mempertahankan nilai yang tinggi dari ibu teladan. Diriwayatkan bahwa Al-Hajjaj berkata kepada Asma’ setelah putranya terbunuh “Bagaimanakah engkau lihat perbuatanku terhadap putramu, wahai Asma’?” Maka Asma’ pun menjawab “Engkau telah merusak dunianya, akan tetai dia telah merusak akhiratmu.”

Asma’ wafat di Makkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap utuh, tidak ada yang tanggal dan akalnya pun masih sempurna; tidak pikun. 
Semoga Allah merahmati beliau dan kita dapat mengambil banyak hikmah dari beberapa peristiwa dalam perjalanan hidupnya yang tidak akan bisa kita ceritakan semuanya.

Sumber : Sillaturohmah, Nur. (2019) ; The True Wonderful Muslimah, Ziyad, Surakarta 

Komentar

  1. MasyaAllah dapat membaca shirah dgn detail yg lengkap adalah rezeki, jazakillah khayr mb

    BalasHapus
  2. subhanallah.. kegigihannya luar biasa ya. kuat dan berani dalam membela agama. semoga kita pun bisa menjadi seorang anak sekaligus istri yang tangguh dalam segala hal. aamiin

    BalasHapus
  3. MasyaAllah, kalimat akhirnya, "Engkau telah merusak dunianya, tetapi ia telah merusak akhiratmu" Indahnya mempertahan aqidah islami ya mba, Jazakillah atas sharingnya.

    BalasHapus
  4. MashaAllah Makasih Mba, sdh mengenalkan Sosok Asma’ binti Abu Bakar 🙏

    BalasHapus
  5. Terharu baca kisahnya mba. Luar biasa sekali keteguhan Asma

    BalasHapus
  6. MASYA Allah, apalah daya diri ini yg blum 30thn tpi dah pikun 😭😭😭

    BalasHapus
  7. Aamiin Allahumma Aamiin. Semoga apapun yang kita tulis, menjadi manfaat dan salah satu pemberat timbangan amal baik kita di akhirat. Aamiin

    BalasHapus
  8. MaasyaaAllah.... Muslimah yg kuat.

    BalasHapus
  9. MasyaAllah selalu kagum baca cerita Asma' binti Abu Bakar

    BalasHapus
  10. Semoga bisa meneledani kecerdasan, kedermawanan, pengorbanan, dan keberanian beliau ya mbaa, Aamiiin. Lengkap sekali sharingnyaa, terima kasih :)

    BalasHapus
  11. MasyaAllah sangat terharu membaca kisah Asma, sosok sahabiyah yang sangat luar biasa..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Tertinggal Bukan Pemenang

Penghambat Kebahagiaan

Kenangan Dalam Lembaran Kertas